Review Pulp Fiction, Karya Terbaik Quentin Tarantino

Pulp Fiction merupakan film yang disutradarai oleh Quentin Tarantino dan dirilis pada tahun 1994. Film ini telah menjadi salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah perfilman modern dunia. 

Baca juga: Menyelusuri Manisnya Kisah Film Sweet and Sour Romansa yang Penuh Teka-Teki

Dengan gaya narasi inovatif, dialog tajam, dan atmosfer yang khas, film ini telah berhasil menciptakan pengaruh mendalam dalam budaya populer dan menjadi karya ikonik dalam film noir modern. 

Artikel ini akan membahas secara lengkap mengenai film yang dibintangi oleh John Travolta dan Bruce Willis tersebut, merangkum elemen-elemen utama, gaya penceritaan unik, serta dampaknya terhadap dunia perfilman.

Review Lengkap Film Pulp Fiction

Review Lengkap Film Pulp Fiction
Review Lengkap Film Pulp Fiction

Jika melihat film karya Tarantino satu ini, ada beberapa aspek menarik yang bisa kita bahas secara mendalam. Adapun pembahasan tersebut meliputi alur cerita, dialog, hingga dampak warisan, yaitu sebagai berikut:

Sinopsis

Pulp Fiction mengikuti sejumlah karakter yang terjalin dalam serangkaian cerita non-linear. Kisah-kisah ini berpusat di sekitar pelaku kejahatan, pembunuh bayaran, dan karakter-karakter eksentrik lainnya di bawah bayang-bayang Los Angeles yang misterius. 

Kisah ini direpresentasikan dalam beberapa bab yang saling terhubung, mengungkap cerita dari berbagai sudut pandang berbeda. Cara film ini merepresentasikan hal tersebut membuatnya menarik untuk dinikmati.

Melalui karakter-karakter seperti Jules (Samuel L. Jackson), Vincent (John Travolta), hingga Butch (Bruce Willis), Tarantino menggambarkan kisah-kisah penuh dengan intrik, tindakan kekerasan, serta pertemuan antara kebetulan dan takdir.

Cerita awal bermula dari Jules dan Vincet sebagai tim pembunuh yang bekerja kepada seorang mafia bernama Marsellus Wallace. Jules dan Vincet ditugaskan untuk mengambil kembali koper milik Wallace dari rekannya, Brett.

Jules dan Vincent lantas membunuh anak buah dari Brett terlebih dahulu usia membaca kutipan Injil. Setelah itu, Jules dan Vincet juga membunuh Brett karena telah berkhianat dari Marsellus Wallace.

Setelah berhasil mendapatkan kembali kopernya, Marsellus lantas menyuap seorang petinju Butch Coolidge (Bruce Willis) untuk mengalah dalam sebuah pertandingan. Akan tetapi, rencana itu gagal setelah Butch justru menolak untuk kalah.

Dari sini, alur terus berjalan dari satu karakter ke karakter lainnya dan menceritakan berbagai kejadian dari sudut pandang berbeda. Inilah kenapa film karya Tarantino ini lebih menggunakan gaya naskah non-linier.

Alur Cerita

Salah satu aspek paling mencolok dari Pulp Fiction adalah alur ceritanya yang non-linear. Tarantino secara cerdas menyusun adegan-adegan sehingga alur waktu berputar mundur dan maju secara bergantian. 

Alur tersebut menciptakan teka-teki yang menuntun penonton untuk menyusun potongan-potongan cerita menjadi satu gambaran utuh. Ini memberikan pengalaman unik dan merangsang untuk aktif berpikir.

Kepingan-kepingan puzzle tersebut justru menjadi hal menarik di dalam film ini. Jika kalian sangat menyukai adanya plot twist dalam sebuah cerita, mungkin akan sedikit kecewa dengan film ini karena hal tersebut tidak akan kalian temukan.

Lantas, kenapa Pulp Fiction tidak disajikan dalam alur cerita linear dan kronologis? Jawabannya adalah untuk melihat secara lebih luas bagaimana setiap karakter memiliki cara pandang sendiri dalam setiap masalahnya.

Cerita juga diambil dari point of view setiap karakter sehingga penonton bisa menyelami berbagai konflik dari si karakter bersangkutan. Peran antagonis tidak selalu harus tampil jahat, begitu juga untuk peran protagonis.

Ada saatnya memiliki kebalikan sifat dari peran watak utamanya. Inilah yang membuat film ini tampak lebih nyata sehingga menjadi salah satu film aksi komedi yang fresh dan seru untuk disaksikan.

Dialog Tajam

Salah satu ciri khas karya Quentin Tarantino adalah dialog-dialognya yang tajam dan penuh gaya. Dialog dalam Pulp Fiction tidak hanya berfungsi untuk meneruskan alur cerita, tetapi juga menggambarkan kepribadian karakter.

Dialog juga kerap menghadirkan humor gelap dan mengeksplorasi tema-tema filosofis dengan gaya unik. Beberapa dialog dari film ini, seperti monolog Jules tentang “Ezekiel 25:17”, telah menjadi ikon dalam budaya populer.

Lebih dari itu, masih banyak lagi dialog ikonik yang begitu diingat oleh para penonton. Celetukan-celetukan lucu juga kerap menghiasi percakapan antara Jule Winfield maupun Vincent Vega di berbagai kesempatan.

Untuk ukuran karya yang rilis tahun 1994, film ini cukup memorable hingga kini. Bagi yang ingin menyaksikannya kembali melalui platform video streaming seperti Netflix, hal-hal lucu dari dialog di film ini masih tetap relevan untuk dinikmati.

Atmosfer Khas

Atmosfer Pulp Fiction menjadi sangat hidup melalui pemilihan musik yang cukup cermat, referensi-referensi budaya pop, serta estetika visualnya. Semua itu tersusun secara rapi sehingga cukup segara untuk tayangan pada masa itu. 

Gaya kamera Tarantino terbilang sangat kreatif, termasuk penggunaan panjang lebar dan pemotongan tajam mampu memberikan suasana intens dan menggugah perasaan penonton. Tidak sedikit para sineas dunia yang memujinya akan hal itu.

Salah satu scene yang banyak menuai bahan pembicaraan adalah pertemuan antara Butch dengan Marsellus. Cara film ini menggunakan teknik over the shoulder shot cukup berbeda daripada film-film lainnya.

Teknik pengambilan ini cukup sukses membuat sosok Marsellus menjadi misterius karena fokus kamera mengarah ke sisi belakang kepalanya dengan plester di leher. Sementara Butch hanya terlihat blur saja.

Selanjutnya, scene yang juga tidak kalah ikonik adalah adegan dansa dari John Travolta sebagai Vincent Vega dan Uma Thurman sebagai Mia. Keduanya tampil memukau saat mengikuti kompetisi dance di Jack Rabbit Slim.

Follow Primaradio.co.id untuk mendapatkan informasi teruptodate Disini